Kebaikan atau Kekasihan?
Saya selalu berpendapat bahwa kebaikan itu egois.
Tidak ada kebaikan di dunia ini yang tulus.
Saya selalu berpikir bahwa kebaikan yang tulus patut diberi nama lain: kekasihan. Kekasihan berasal dari kata dasar kasih. Dan perbadaan antara kasih dan kebaikan adalah, kasih itu tanpa batas.
Melakukan kebaikan yang tulus (yang berikutnya akan saya sebut ‘kekasihan’) itu sulit. Lucunya, yang sulit bukan perihal melakukan kebaikan, namun imbas dari kebaikan itu.
Orang berasumsi bahwa setiap mereka melakukan kebaikan, maka dia akan dibalas dengan kebaikan pula. Namun nyatanya kebaikan tidak selalu dibayar tunai. Dan menurut hemat saya, kebaikan yang diikuti dengan harapan bahwa aksi baik itu akan menghasilkan hal yang baik, bukanlah kebaikan yang tulus (kekasihan).
Pernahkah kamu berkata “dasar! sudah untung saya tolong!” lalu kamu bersungut-sungut karena orang yang kamu tolong malah berbalik ‘menyerang’ kamu?
Hal ini terjadi karena apa yang kamu lakukan di awal, bukanlah kekasihan (kebaikan yang tulus) namun kebaikan dengan maksud (yang tanpa kamu sadari). Orang yang berbuat baik kepada orang memiliki 2 macam motif: untuk terlihat baik atau untuk membuat dirinya sendiri merasa baik. Sedangkan orang yang mengasihi berbuat baik tanpa ada tujuan bahkan sering kali mengorbankan egonya, mau merunduk dihina oleh orang yg menolong, karena dari awal tujuan dia adalah kebaikan utk org tersebut dan bukan dirinya sendiri. Gambaran apa dari Yesus yang lebih indah dari konsep ‘kekasihan’ ini? Gambaran apa yang dapat lebih kristen dari ini?
Mau menunduk, mau dihina, mau dicela oleh orang yang kamu tolong meski yang kamu lakukan menghasilkan kebaikan untuk mereka. Itulah kekasihan.