Ridho yang Ridho Sendirian
Seperti biasa, hari ini aku bangun dengan rasa letih lagi
Tak ada beda dengan kemaren, lusa, maupun esok hari
Setiap bangun yang kuinginkan hanyalah malam untuk segera datang supaya aku cepat naik ranjang
Sebenarnya mimpi dan tujuan sudah berbaris rapi, tapi entah kenapa aku hanya ingin cepat mati
Cerita ke teman pun tak ada yang memahami
“Kau harus bersyukur!” mereka malah memaki
“Tuh lihat si Karto! hidup dia lebih sulit!” Mereka menasihati
Padahal meminjam telinga dimana rugi?
Padahal berpura-pura mendengar apa akan jadi tuli?
Padahal tak usah komentar akankah membuat tulang nyeri?
“Bersyukur! Untung cuma baru diperkosa, bukan dibunuh!” Itu nasihat yg aku pahami
“Bersyukur! Untung cuma baru diperkosa, tidak dibuang dari kecil!” Itu nasihat yg aku pahami
“Bersyukur! Cuma dimaki-maki, dia masih membiayai!” Itu nasihat yg aku pahami
“Bersyukur! Masih banyak orang yang susah! Kamu yang tidak tahu terima kasih!” itu nasihat yg aku pahami
Padahal ayah sudah menyodomi beberapa kali
Padahal, mulut ini sudah berteriak “bajingan!” di banyak durasi
Padahal, hati sudah kandas, rumpang dan terhenti
Namun menurut temanku, ternyata aku masih memiliki tugas satu lagi
Yaitu mengucap syukur karena masih banyak yang lebih sangsai
Padahal, mereka tinggal bilang “hatimu remuk redam itu pasti,
Namun yang kamu lakukan sudah sangat berani.”
Padahal, mereka tinggal bilang “maafkan aku yang tak bisa memahami,
Namun aku akan selalu mendengar dan ada di sini.”
Tapi memang semua orang nyatanya sudah hidup sendiri-sendiri.
Ketemupun hanya nonton film dan haha hihi
Tidak ada yang mau duduk berbicara membahas yang berarti
Hidup, cinta, kebenaran maupun kandasnya matahari
Semua rumpian hanya soal tetek bengek dan acara TV
Perihal karir, rumah baru maupun anak istri
Aku yang tak punya apa-apa hanya bisa melongo dan meridhoi
Tapi memang semua orang nyatanya sudah hidup sendiri-sendiri
Sudah tidak ada yang benar-benar tulus membangun hubungan afeksi
Yang ada hanya interaksi berkualitas imitasi
Dengarkan saja bualan mereka: “aku akan selalu ada di sini!”
Begitu ingin bercerita semua hilang dan sibuk tanpa permisi
“Maaf, baru baca whatsapp mu,” begitu mereka ajukan alibi
Padahal pesan sudah dibaca namun memang tidak punya waktu untuk berempati
Lagi-lagi aku ada di atap ini
Memandangi bayangan kota yang tidak pasti
Menunggu malam yang tak kunjung mati
Menghisap rokok yang merupakan kroni paling sakti
Menghembuskan nafas panjang sembari menyeringai
Mengingat semua nasihat teman-temanku yang tak punya aksi
Sumarah akan bualan mereka yang penuh dengan kepribadian abdi
Berbaring di atas genteng memandangi langit yang berisi,
aku jumawa menyadari:
Karena semua sudah sibuk sendiri-sendiri.
Karena semua sudah hidup sendiri-sendiri.