Pembunuhan Karakter
Menghubungkan dengan buku-buku yang saya baca akhir-akhir ini, saya ingin membahas mengenai asumsi.
Mungkin beberapa dari kalian tahu betapa Stoik nya saya. Stoik adalah sebuah filsuf dimana cara mencari kebahagiaan (eudaimonia) adalah melalui kebajikan, menerima waktu sekarang apa adanya, dan tidak membiarkan nafsu (macam apapun) mengendalikan kita.
Di dalam filsuf ini, kita diajarkan untuk tidak menggantungkan kebahagiaan dan penderitaan kita kepada, dari dan oleh orang lain. Orang-orang Stoik akan lebih memilih pertemanan daripada sendirian, namun Stoik juga bisa bertahan hidup tanpa teman. Bukan karena tidak butuh, karena Stoik percaya bahwa kita adalah makhluk sosial, namun karena kita percaya bahwa kebahagiaan yg sebenar-benarnya datang dari dalam, dan bukan dari luar, terutama hal-hal yang dapat hilang dan musnah.
Bagi Stoik, kebahagiaan tidak dicari melalui pernikahan, pertemanan, sex, makanan, ataupun apapun kesenangan duniawi kita. Semua itu memang dapat membuat kita lebih bahagia, namun bukan untuk menjadi bahagia. Kebahagiaan sejati hanya ada di dalam melalui penerimaan masa sekarang, pengendalian diri, dan kebajikan.
Satu pelajaran yang saya suka dari Stoik adalah mengenai asumsi dan persepsi.
Stoik mengajarkan, bahwa apapun yg terjadi kepada kita, baik dan buruknya bukan karena kejadian itu sendiri pada dasarnya baik atau buruk, namun karena persepsi kita terhadap kejadian itu. Kamu menderita karena rumahmu kebanjiran? Yang buruk bukan banjirnya, namun krn kamu menganggap bahwa kebanjiran itu buruk.
Mengaplikasikan konsep filsuf ini kepada hubungan antar-manusia (macam apapun: pernikahan, pertemanan, persaudaraan), acapkali kita membuat ASUMSI terhadap orang lain, baik pasangan, orang tua, keluarga maupun teman dan menganggapnya sebuah fakta, bahkan ketika kita belum mendapatkan jawaban dari si ‘tertuduh’. Misalnya, pasangan kita pergi dari rumah tanpa pamit. Kita akan langsung membentuk banyak asumsi. Kenapa pergi tanpa pamit? Selingkuhkah dia? Tidakkah dia menghargai saya? Maksud dia apa??? Dan semua ASUMSI ini, apabila kita tidak utarakan kepada sang ‘tersangka’ bukanlah sebuah fakta sampai pada akhirnya sang ‘tersangka’ menjawab “Ya, apa yang kau pikirkan adalah benar.”
Kebanyakan wanita sering berkata: “Tetapi aku yakin ini benar! karena aku memiliki feeling yang kuat!” Namun apa yang kita fikirkan, di dalam dunia Filsuf Logika, bukanlah fakta. Fakta dan perasaan adalah dua hal yang sangat berbeda. Suatu hal bukan berarti benar hanya karena kita bisa “merasakannya”. Asumsi berbeda dengan fakta, seberapapun kuatnya perasaan kita. Untuk menjadi sebuah fakta, dibutuhkan bukti dan pengakuan dari si ‘tertuduh’.
Banyak sekali orang rajin berasumsi, dan langsung menyebut asumsi-asumsi ini menjadi sebuah fakta. Yang bahaya adalah karena kita tidak menyadarinyai, ketika kita melakukan ini, yg kita lakukan adalah pembunuhan karakter (character assasination) secara SEPIHAK.
Di dalam pikiran kita, kita memiliki sebuah gambaran mengenai tiap-tiap orang. Dan gambaran-gambaran ini dibentuk dari persepsi dan asumsi kita kepadanya. Jadi ketika kita membuat asumsi pribadi tanpa bukti dan konfirmasi dari orang tersebut, kita sebenarnya sedang merubah dan membunuh karakternya secara sepihak di dalam pikiran kita. Mirisnya, bahkan seorang penjahat pun masih diberi kesempatan menghadap sang juri di pengadilan untuk membela posisinya. Namun secara kita tidak sadari, kita telah menjadi hakim sepihak dari orang-orang yang kita cintai.