Menginginkan Hal Lain

Akhir-akhir ini pembicaraan saya memiliki satu benang yang sama: kita selalu menginginkan hal yang tidak kita miliki.

Yang belum menikah ingin berkeluarga, yang berkeluarga ingin memiliki kebebasan. Yang belum punya anak berharap segera diberi momongan, yang memiliki anak menggerutu karena waktu untuk anak yang menyita kehidupan pribadinya. Yang pengangguran ingin cepat mendapatkan kerja, yang berkarir ingin memiliki waktu rehat. Yang tidak memiliki uang mengais ide untuk pendapatan, yang berharta pusing memikirkan cara menjaga hartanya.

Sebelum sampai kepada titik ucapan syukur, menurut pendapat saya, kita laiknya harus berhenti dulu pada titik ‘puas’. Aku puas akan hidupku: pekerjaanku, kesehatanku, pendapatanku, keluargaku. Karena apabila kita bersyukur tapi belum merasa puas, kontan kita akan selalu kembali ke titik yang sama: menginginkan hal lain, sadar, bersyukur. 

Merasa puaslah dulu sebelum bersyukur.

Memang, mentalitas ‘puas’ ini juga akan membuat kita tidak melesat sejauh orang-orang lainnya yang memiliki ambisi. Mungkin karir kita tidak akan sejauh yang lain, harta kita tidak akan sebanyak yang lain. Namun kedamaian hati tidak bisa diukur oleh jenjang karir dan banyaknya harta.

Barangsiapa mengikuti ‘perlombaan’ di dunia manusia, secara otomatis kehidupannya akan ‘dinilai’ oleh standard manusia pula.

Saya mengibaratkan hidup kita bagaikan kumpulan-kumpulan negara. Dan kita masing-masing membangun ‘negara’ kita sendiri. Ada dari kita yang ingin mencontoh negara lain, memiliki keberhasilan ekonomi sama seperti China atau menjadi negara adidaya seperti Amerika. Yang paling baik, jangan kita mengucilkan diri dan menutup segala komunikasi dan hubungan dengan orang lain seperti Korut. Namun di dalam negara kita masing-masing, bangunlah apa yang menurut kita indah. Ciptakanlah taman mu sendiri, diisi dengan bunga-bunga dan pohon yang menurut kamu indah. Buatlah struktur kota idealmu: dengan selokan di kanan kiri jalan atau mungkin bulevar yang terbuat dari batu bata. Bangunlah rumah-rumahmu sendiri, dengan bahan yang kamu anggap berharga.

Negaramu, kamu yang putuskan.

Akan ada waktu dimana kita harus keluar dari ‘negara’ kita, membawa ‘paspor’ ke dunia luar. Tetapi apabila kita memiliki kedamaian di negara kita sendiri, ketika kita ke ‘luar negeri’ milik orang lain, kata-kata rajukan orang lain seperti “kapan nikah?” “Masa mobil aja bekas?” “jangan cerai! malu!” “suamimu kok kerjanya cuma begitu?” tidak akan begitu berdampak. Karena kita yang paling memahami negara kita. Hanya kita yang tahu ada berapa banyak gunung yang kokoh dan pantai yang indah di negara kita. Kita yang memahami betapa kokohnya gedung-gedung di ‘kota-kota’ kita.

Dan kita akan menyadari ini bahwa kualitas hidup kita tidak bergantung pada bagaimana cara mereka memandang kita. 

Karena sebuah negara tidak akan hancur hanya karena kata-kata.

Previous
Previous

Yang Terbaik